MOTTO

"committed to nurturing the wholeness though caring"

Jumat, 08 Agustus 2008

pendaftaran D IV Keperawatan Klinik depkes Semarang

Penerimaan Mahasiswa Baru


PROGRAM DIPLOMA IV KEPERAWATAN KLINIK

POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES SEMARANG

TAHUN 2008 – 2009



KEMAHIRAN:


1. KEPERAWATAN KLINIK MEDIKAL BEDAH

2. KEPERAWATAN KLINIK GAWAT DARURAT

3. KEPERAWATAN KLINIK KARDIOVASKULER


Jln. Tirto Agung, Pedalangan, Banyumanik, Semarang, Telepon/Faksimili: (024) 7470364

PENDAHULUAN

Perkembangan pelayanan kesehatan saat iini maju dengan pesat sejalan dengan ditemukannya berbagai teknologi kesehatan dan prosedur klinik yang efektif, efisien dan ekonomis. Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan dituntut untuk meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor dalam keilmuan keperawatan.

Menjawab kebutuhan klinik akan tenaga terampil dalam bidang keperawatan, maka pendidikan berkelanjutan paska diploma III menjadi tuntutan yang harus dijawab oleh segenap anggota keperawatan. Program Pendidikan Kemahiran Klinik Diploma IV (Dipl- IV) merupakan jawaban yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan perawat mahir klinik.

Masa tempuh pendidikan hanya 2 semester/1 tahun memberikan keuntungan bagi peserta, antara lain waktu pendidikan lebih singkat dan biaya relatif murah. Program pendidikan difokuskan pada pencapaian kompetensi klinik hingga 60 – 70 % dari seluruh beban studi yang ditempuh, hal ini memberikan harapan para lulusan akan siap terjun dan bekerja dengan professional.


DASAR HUKUM PENYELENGGARAAN

  1. Keputusan Menteri Kesehatan RI, nomor: HK.03.2.4.1.03960 tentang pendirian Program Studi Diploma IV Keperawatan Gawat Darurat pada Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Depkes Semarang.

  2. Keputusan Menteri Kesehatan RI, nomor: HK.03.2.4.1.03961 tentang pendirian Program Studi Diploma IV Keperawatan Medikal Bedah pada Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Depkes Semarang.

  3. Keputusan Menteri Kesehatan RI, nomor: OT.01.01.1.4.2.002050.I tentang pembentukan Program Studi Diploma IV Keperawatan Klinik Kemahiran Keperawatan Kardiovaskuler pada Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Depkes Semarang.


ASPEK POSITIF LULUSAN DIPLOMA IV

  1. Peraturan Pemerintah nomor 98 tahun 2000 tentang Pegawai Negeri Sipil, BAB IV: Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil, Pasal 11, ayat 4 berbunyi: Golongan ruang yang ditetapkan untuk pengangkatan sebagai CPNS adalah: butir f: Golongan ruang III/a bagi yang pada saat melamar serendah-rendahnya memiliki dan menggunakan Ijazah Sarjana (S1), atau Diploma IV.

  2. Peraturan Pemerintah nomor 99 tahun 2000 tentang kenaikan pangkat Pegawai negeri Sipil. Pasal 18 ayat (1) Pegawai Negeri sipil yang memperoleh: butir e. Menyatakan bahwa Ijazah Sarjana (S1) atau Ijazah D IV dan masih berpangkat Pengatur Tingkat I, Golongan Ruang II/d ke bawah, dapat dinaikkan pangkatnya menjadi Penata Muda, golongan ruang III/a.


VISI

Menghasilkan perawat ahli sebagai Sarjana Sain Terapan yang mahir dalam keperawatan medikal bedah, gawat darurat dan kardiovaskuler yang professional dan berwawasan global.



KURIKULUM PENDIDIKAN

Program Diploma IV Keperawatan ditempuh dalam waktu 2 semester (1 tahun) terdiri dari 41 SKS untuk keperawatan Medikal Bedah dan 49 SKS untuk keperawatan Gawat Darurat, Kardiovaskuler memiliki bobot 42 SKS.


SYARAT PENDAFTARAN

  1. Mengisi formulir pendaftaran

  2. Mengisi identitas pendaftar (Curriculum Vitae)

  3. Fotocopy ijazah D III Keperawatan (dilegalisir) atau Surat Keterangan Lulus (SKL)

  4. Surat ijin dari instansi/lembaga calon peserta (bagi yang berstatus pegawai)

  5. Pas photo hitam putih uk. 4 x 6 (5 lembar)

  6. Biaya pendaftaran sebesar Rp. 250.000 ,-


WAKTU PENDAFTARAN

  • Gelombang I : 02 – 21 Juni 2008

  • Gelombang II : 01 – 31 Agustus 2008

pada jam kerja (Pukul 07.30 – 15.00 wib.).


MATERI UJIAN

Test Materi Keprofesian, Psikotest.


PENENTUAN KELULUSAN

  1. Memenuhi persyaratan administrasi pendaftaran

  2. Lulus ujian/test Keprofesian


Bagi peserta yang lulus ujian diwajibkan mengikuti:

  1. Program Pengenalan Studi (PPS) Poltekkes Semarang

  2. Kuliah Pre Akademi/Matrikulasi (3 mgg – 1 bulan).



BIAYA PENDIDIKAN

  1. Biaya pendidikan (di luar skripsi, buku, seragam, wisuda dan biaya hidup mahasiswa)sebesarRp.2.550.000/semester.

  2. Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI): Rp. 4.000.000,-


WAKTU PERKULIAHAN

Perkuliahan setiap hari Senin – Jum’at dari jam 08.00 – 17.00 wib

PENGAJAR

Pengajar terdiri dari para dosen S1 - S2 Keperawatan (Lulusan Dalam dan Luar Negeri) dan praktisi klinik (dokter ahli dan perawat ahli).


FASILITAS

  1. Laboratorium Keperawatan, Komputer, internet dan Bahasa

  2. Perpustakaan

  3. Lahan Praktek di Rumah Sakit Tipe A atau B di Jawa Tengah.



KONTAK PERSON

  1. Nurhidajah, MNurs., HP. 081325773536

  2. Mugi Hartoyo, MNurs.,HP. 081329159588

  3. S. Eko Purnomo, SKp, MKes No 08122888601

Selasa, 03 Juni 2008

D IV keperawatan klinik diakui PPNI

DIV Keperawatan Klinik diakui PPNI

Beberapa waktu lalu, tepatnya hari Sabtu 31 Mei 2006 di adakan acara Lounching D IV Gizi, Bidan Pendidik, Kesehatan Gigi Komunitas dan Kesehatan lingkungan yang bertempat di auditorium Kampus I POLTEKKES DEPKES SEMARANG. Pada kesempatan tersebut juga diadakan seminar mengenai "Kebijakan Tenaga Kesehatan"

Acara tersebut dihadri oleh Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan (Ka PUSDIKNAKES) DEPKES RI yang juga menjadi salah satu pembicara dalam seminar tersebut. Dalam presentasinya beliau menegaskan bahwa maksud diadakannya pendidikan D IV adalah untuk mensukseskan Indonesia Sehat 2010 serta menghadapi globalsasi. Kebutuhan akan tenaga kesehatan yang profesonal dan berkompetensi adalah mutlak untuk mencapai Indonesia yang sehat dan mandiri.

Saat disinggung mengenai organisasi profesi yang tidak setuju dengan adanya program Diploma IV khususnya keperawatan, belau memebenarkan hal tersebut. Namun beliau juga memberitahukan bahwa organisasi profesi dalam hal ini PPNI sudah setuju dengan diberikan suratnya surat edaran dari Ka PUSDIKNAKES.

Selasa, 27 Mei 2008







SINDROM STEVEN-JOHNSON

SINDROM STEVEN-JOHNSON

A. PENGERTIAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : Sindrom De Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliformbulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis dan lain-lain (Harsono&Endrayanto, 2007).
Sedangkan menurut Hamzah (1994) menuliskan bahwa yang dimaksud dengan sindrom Steven-Johnson adalah merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai dengan purpura.

B. ETIOLOGI
Etiologi dari SSJ belum dapat dipastikan, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penicillin, etambutol, tegretol, tetraciklin digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X) dan lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). (Harsono&Endrayanto, 2007).






C. PATOFISIOLOGI
Menurut para ahli Sindrom Steven-Johnson disebabkan oleh reaksi alergi type III dan IV, Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk komplek antigen –antibody yang membentuk mikro presitipitasi sehingga terjadi aktivasi system complement .Akibatnya terjadi akumulasineutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersesitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama , kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.


D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :
1. Kulit
Berupa eritema, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Kemudian memecah sehingga menjadi erosi yang luas, disamping itu dapat terjadi purpura. Jika terjadi purpura, pronogsisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat kelainan yang generalisata.
2. Mukosa
Kelainan selaput lender yang tersering adalah pada mukosa mulut (100 %), kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak adanya krusta berwarna kehitaman dan tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat mengakibatkan penderita sukar / tidak dapat menelan. Adnya pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. (Hamzah, 1994).
3. Mata
Konjungtiva kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan terjadinya kebutaan. Cidera mukosa okuler merupakan factor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular sikatricial pempigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular sikatricial pempigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun (Harsono&Endrayanto, 2007).



E. PATH WAY Syndrome Steven-Johnson (SSJ)

F. INITIAL ASSESMENT
A : Kaji adanya stomatitis ulcerative, lesi pada mukosa hidung dan faring dan sumbatan pada jalan nafas.
B : Kaji status pernafasan, adanya gangguan pola, irama, suara pernafasan dan penurunan saturasi.
C : Kaji status hemodinamik, suhu tubuh, dan kemungkinan perdarahan akibat lesi.
D : Kaji adanya gangguan kesadaran

G. PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umumya berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Anti biotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah..
3. Kortikosteroid parenteral : deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang menganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hydrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosisi untuk usia 1-3 tahun 7,5mg/dosis, untuk usia 2-13 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun :2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; . 6 tahun : 5-10mg/dosis, 1 kali/hari. Perwatan kulit dan mata serta pemberian antibiotic topical.
5. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotic yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
(Harsono & Endrayanto, 2007)




H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pseudomembran pada mukosa hidung dan faring.(Doenges, 2000 ; Hamzah, 1994).
Intervensi:
· Kaji kepatenan jalan nafas dan bebaskan jalan nafas.
· Awasi frekwensi, irama, kedalaman pernafasan ; perhatikan adanya pucat / sianosis.
· Kaji reflek menelan ; perhatikan pengaliran air liur, ketidakmampuan menelan, serak dan batuk.
· Auskultasi paru, perhatikan stridor, penurunan bunyi nafas.
· Berikan terapi oksigenasi sesuai indikasi dengan cara yang tepat.

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi atau respon peradangan. ( Carpenito, 2001 ; Harsono & Endrayanto, 2007)
Intervensi:
· Kaji status lesi ( warna, bau, luas luka, eritema, vesikel, bula).
· Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
· Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topical pada lesi kulit.
· Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
· Kolaborasi pemberian kortikosteroid.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan pajanan terhadap lingkungan.( Wilkinson,2007)
Intervensi :
· Pantau tanda atau gejala infeksi ( suhu tubuh, denyut jantung, penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit).
· Kaji factor yang meningkatkan serangan infeksi ( misalnya : usia lanjut, tanggap imun rendah dan mal nutrisi).
· Pantau hasil laboratorium ( leukosit, hitung granulosit absolute, protein serum, albumin dan hasil - hasil yang berbeda).
· Amati penampilan praktek hygine pribadi untuk pencegahan terhadap infeksi.
· Kolaborasi pemberian Antibiotik.



















DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. (2001). Buku saku diagnosa keperawatan. edisi 8 . EGC : Jakarta

Doenges, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. EGC : Jakarta

Hamzah, M. (1994). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Harsono, A.,Endrayanto, A. (2007). Sindrome steven – Johnson, diakses pada 17 februari 2007. http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrome-steven–johnson/

Wilkinson, J.N. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan criteria hasil NOC. Edisi 7. EGC : Jakarta

Rabu, 07 Mei 2008

Rabu, 30 April 2008

SIADH

SIADH
(syndrome of inapropiate secretion of anti diuretic hormon)
A. Definisi
SIADH (syndrome of inapropiate secretion of anti diuretic hormon) adalah gangguan pada hipofisis posterior yang ditandai dengan peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis posterior.(elizabet j.corwin)
SIADH adalah gangguan pada kelenjar hipofisis di dasar otak yang mengeluarkan terlalu banyak hormone antideuiretik sehingga menyebabkan konsentrasi natrium rendah. SIADH adalah keadaan dimana sekresi ADH yang berlebuhan , bias dari hipotalamus atau sumber ektopik.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan pengertian SIADH adalah suatu keadaan dengan kadar natrium serum yang kurang dari 135 mEq/L.
B. Etiologi
SIADH disebabkan oleh:
1. Tumor pituitary terutama karsinoma bronkogenik/ karsinoma pancreatic yang dapat mensekresi ADH secara ektopic(salah tempat)
2. Cidera kepela
3. Pneumonis
4. Pembedahan(dapat memunculkan SIADH sesaat)
5. Obat- obatan seperti
a. cholorpropamid(obat yang menurunkan gula darah)
b. Carbamazepine (obat anti kejang)
c. Tricilyc (antidepresan)
d. Vasopressin dan oxytocin ( hormon anti deuretik buatan ).
6. Meningitis
7. Penyakit nefrotik
8. Kelebihan ADH
C. Patofisiologi
SIADH ditandai oleh peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis posterior tanpa adanya rangsangan normal untuk melepaskan ADH. Pengeluaran ADH pengeluaran ADH yang berlanjut menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus. Volume cairan ekstra seluler meningkat dengan hiponatremi delusional. Dalam kondisi hiponatremi dapat menekan rennin dan sekresi aldosteron menyebabkan penurunan Na diabsorbsi tubulus proximal. Dalam keadaan normal ADH mengatur osmolalitas plasma, bila osmolalitas menurun mekanisme Feed back akan menyebabkan inhibisi ADH.
Hal ini akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan osmolalitas plasma menjadi normal. Pada SIADH osmolalitas plasma terus berkurang akibat ADH merangsang reabsoprbsi air oleh ginjal.
D. Manifestasi klinis
Gejala yang sering muncul adalah:
1. Hiponatremi (penurunan kadar natrium )
2. Peningkatan berat badan
3. Mual, muntah, anorexia, diare
4. Retensi air
5. Letargi
6. Penurunan kesadaran sanpai koma.
Menurut Sylvia ( 2005). Tanda dan gejala SIADH meliputi :
1. Na serum >125 mEq/L.
a. Anoreksia.
b. Gangguan peyerapan.
c. Kram otot.
2. Na serum = 115 – 120 mEq/L.
a. Sakit kepala, perubahan kepribadian.
b. Kelemahan dan letargia.
c. Mual dan muntah.
d. Kram abdomen.
3. Na serum < 1115 mEq/L.
a. Kejang dan koma.
b. Reflek tidak ada atau terbatas.
c. Tanda babinski.
d. Papiledema .
e. Edema daiatas sternum.


E. Komplikasi
Gejala- gejala neurologis dapat berkisar pada nyeri kepala dan konfusi (bingung) sampai kejang otot, koma dan kematian akibat hiponatremia dan intoksikasi air.
F. Pathways
Terlampir .
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SIADH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:
1. Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukkan untukmengatasi penyakit yang menyebabkan SIADH, misalnya berasal dari tumor ektopik, maka terapi yang ditunjukkan adalah untuk mengatasi tumor tersebut.
2. Mengurangi retensi cairan yang berlebihan
- Pada kasus ringan retensi cairan dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan. Pedoman umum penanganan SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi natrium serum dapat dinormalkan dan gejala-gejal dapat di atasi.
- Pada kasus yang berat, pemberian larutan normal cairan hipertonik dan furosemid adalah terapi pilihan .
3. Semua asuhan yang diperlukan saat pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran (kejang, koma, dan kematian) seperti pemantauan yang cermat masukan dan haluaran urine. Kebutuhan nutrisi terpenuhi dan dukungan emosional.


ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN.
1. Data Subjektif.
a. Pola asuhan dan keluaran urin.
b. Pengguanaan obat diuretik ( pitersin ), frekuansi dan efek samping.
c. Adanya rasa haus.
2. Data Objektif.
a. Status mental.
b. BB setiap hari.
c. Asuhan dan keluaran cairan tiap 2 jam atau lebih sering jiak resiko ketidak seimbangan cairan.
d. Osmolalitas urin, berat jenis dan kadar natrium urin.
e. Kadar natrium serum dan osmolalitas serum.
f. Tekanan darah.
B. DATA PENUNJANG
1. Prosedur khusus
Meliputi tes fungsi ginjal, adrenal dan tiroid normal
2. Pencarian sumberhipertensi ADH ekstra hipofisis antara lain dilakukan dengan foto rontgen tengkorak, dada dan abdomen.
3. Pengawasan dari tempat tidur ; pemantauan terhadap tekanan darah
4. Pemeriksasan laboratorium
a. Na serum : menurun kurang dari 135 mEq/L
b. Na urine : kurang dari 15 mEq/L, menendakan konversial ginjal terhadap natrium. Na urine lebih dari 20 mEq/L menandakan SIADH.
c. Kalium serum : mungkin turun sesuai upaya ginjal menghemat natrium dan kalium sedikit
d. Klorida / Bicarbonat serum: mungkin menurun tergantung ion mana yang hilang dengan DNA.
e. Osmolalitas serum < 287 mOsm/kg.
f. Osmolalitas urine : mungkin turun atau biasanya kurang dari 100 m osm/L kecuali pada kasus SIADH dimana kasus ini akan melebihi osmolalitas serum.
g. Hematokrit : tegantung keseimbangan cairan dalm tubuh seperti adanya dehidrasi atau kelebihan cairan.
h. Osmolalitas atau berat jenis urine tinggi ( > 100 mOsm/kg) dengan memperhatikan osmolalitas atau berat jenis serum > 1,004 pada penyebab hiponatremia.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan peningkatan produksi ADH.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan inadekuat intake
3. Retensi urine berhubungan dengan hiponatremia
4. Gangguan proses piker berhubungan dengan keseimbangan elektrolit sekunder terhadap intravaskuler.

D. INTERVENSI
1. Diangnosa I
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan sekresi ADH kembali normal dengan kriteri hasil :
a. Volume cairan dan elektrolit dapat kembali dalam batas normal.
b. Pasien dapat mempertahankan berat badan dan volume urin 800 – 2000 ml/hari
c. Input sama dengan output
d. Tidak ada odema.
Intervensi :
a. Pantau masukan dan haluaran cairan dan tanda tanda kelebihan cairan setiap 1 – 2 jam.
Rasionalnya: catatan masukan dan haluaran membantu mendeteksi tanda dini ketidakseimbangan cairan.
b. Pantau elektrolit atau osmolalitas serum resiko gangguan signifikan bila serum Na kurang dari 125 mEq/L.
Rasional : untuk mengetahui keadaan natrium serum.
c. Berikan terapi cairan tergantung pada status volume sesuai intruksi ( pilihan cairan yang pertama adalah normal salin sonotik).
d. Batasi masukan cairan.
Rasional : mencegah intoksikasi air.
e. Kaji dengan mengidentifikasi dan penanganan penyebab yang mendasari.

2. Diangnosa II
Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, masalah gangguan nutrisi dapat teratasi dengan kriteria hasil
a. Barat badan kembali normal.
b. Bebas dari tanda mal nutrisi.
Intervensi :
a. Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : memberikan informasi tentang keadaan masukan diet atau penentuan kebutuhan nutrisi.
b. Buat pilihan menu yang ada dan ijinkan pasien untuk mengontrol pilihan sebanyak mungkin.
Rasional : pasien yang meningkat kepercayaan dirinya dan merasa mengontrol lingkungan lebih suka menyediakan makanan untuk dimakan.
c. Berikan cairan IV hiperalimentasi dan lemak sesuai indikasi
Rasinal : memenuhi kebutuhan cairan atau nutrisi sampai masukan oral dapat dimulai.

3. Diagnosa III.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pengeluaran urin kembali normal dengan kriteria hasil :
a. Volume urine kembali normal.
b. Urin dapat keluar dengan lancar.
c. Na serum dapat kembali normal.
Intervensi :
a. Batasi masukan cairan.
Rasional : menjaga keseimbangan cairan tubuh.
b. Kaji dengan mengidentifikasi dan penanganan penyebab yang mendasar.
Rasional : memberikan petunjuk untuk intervensi dini.
c. Pemberian lasix atau furosemid untuk memudahkan pengeluaran cairan.
Rasinal : untuk mempermudah pengeluaran urin.
4. Diangnosa IV.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam , diharapkan proses pikir kembali normal dengan kriteria hasil :
a. Status mental pasien meningkat.
b. Tingkat kesadaran normal.
c. Dapat mengenal lingkungan sekitar.
d. Pola koping normal.
Intervensi :
a. Pantau orientasi pasien terhadap individu, tempat dan waktu.
Rasinal : meningkatkan orientasi dan mencegah kesalahan yang berlebihan.
b. Kaji tingkat kesadaran atau respon neuromuskuler.
Rasional : kekurangan Na dapat mengakibatkan penurunan mental ( pada titik koma) serta kelemahan otot umum atau kacau mental.
c. Tetapkan dan pertahankan jadwal perawatan rutin untuk memberikan waktu istirahat yang teratur.
Rasional : menurunkan stimulasi sistem syaraf pusat dan resiko cidera serta komplikasi neurologi.
d. Pertahankan lingkungan yang tenang, berikan kewaspadaan keamanan atau kejang.
Rasional : seperti adanya keseimbangan cairan dan elektrolit asam basa harus ditanggulangi , gangguan proses pikir harus diperbaiki , perubahan yang terus menerus pada mental memerlukan evaluasi lanjut.





E. EVALUASI
Evaluasi didasarkan pada hasil yang diharapkan pada pasien serta dilanjutkan tindak kewaspadaan selama 3 X 24 jam .
Diangnosa I
Volume cairan dan elektrolit tubuh kembali kebatas normal
Diangnosa II
Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Diangnosa III
Pengeluaran urin kembali normal
Diangnosa IV
Status mental pasien meningkat dan dapat melakukan mekanisme koping dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Black, Matasarin, dkk, 1997, Medical Surgical Nursing, Phiadelpia: W, B, Soundres.
Corwin, Elizabeth j, 2000, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta, EGC.
Ellen, Lee, dkk, 2000, Pathofisiology, Phiadelpia: W, B, Soundres.
Hudak, Carolin M, 1996, Keperawatan Kritis, Edisi IV, Volume II, Jakarta: EGC.
Long, Barbara C, 1996, Perawatan Medical Bedah 3, Bandung: yayasan IAPK pajajaran.