MOTTO

"committed to nurturing the wholeness though caring"

Selasa, 27 Mei 2008







SINDROM STEVEN-JOHNSON

SINDROM STEVEN-JOHNSON

A. PENGERTIAN
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : Sindrom De Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliformbulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis dan lain-lain (Harsono&Endrayanto, 2007).
Sedangkan menurut Hamzah (1994) menuliskan bahwa yang dimaksud dengan sindrom Steven-Johnson adalah merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai dengan purpura.

B. ETIOLOGI
Etiologi dari SSJ belum dapat dipastikan, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penicillin, etambutol, tegretol, tetraciklin digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X) dan lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). (Harsono&Endrayanto, 2007).






C. PATOFISIOLOGI
Menurut para ahli Sindrom Steven-Johnson disebabkan oleh reaksi alergi type III dan IV, Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibody yang membentuk komplek antigen –antibody yang membentuk mikro presitipitasi sehingga terjadi aktivasi system complement .Akibatnya terjadi akumulasineutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersesitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama , kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.


D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di :
1. Kulit
Berupa eritema, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh. Kemudian memecah sehingga menjadi erosi yang luas, disamping itu dapat terjadi purpura. Jika terjadi purpura, pronogsisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk yang berat kelainan yang generalisata.
2. Mukosa
Kelainan selaput lender yang tersering adalah pada mukosa mulut (100 %), kemudian disusul oleh kelainan dilubang alat genital (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak adanya krusta berwarna kehitaman dan tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat mengakibatkan penderita sukar / tidak dapat menelan. Adnya pseudomembran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas. (Hamzah, 1994).
3. Mata
Konjungtiva kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan terjadinya kebutaan. Cidera mukosa okuler merupakan factor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular sikatricial pempigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular sikatricial pempigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun (Harsono&Endrayanto, 2007).



E. PATH WAY Syndrome Steven-Johnson (SSJ)

F. INITIAL ASSESMENT
A : Kaji adanya stomatitis ulcerative, lesi pada mukosa hidung dan faring dan sumbatan pada jalan nafas.
B : Kaji status pernafasan, adanya gangguan pola, irama, suara pernafasan dan penurunan saturasi.
C : Kaji status hemodinamik, suhu tubuh, dan kemungkinan perdarahan akibat lesi.
D : Kaji adanya gangguan kesadaran

G. PENATALAKSANAAN
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umumya berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Anti biotic spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah..
3. Kortikosteroid parenteral : deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang menganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hydrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosisi untuk usia 1-3 tahun 7,5mg/dosis, untuk usia 2-13 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun :2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; . 6 tahun : 5-10mg/dosis, 1 kali/hari. Perwatan kulit dan mata serta pemberian antibiotic topical.
5. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotic yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.
(Harsono & Endrayanto, 2007)




H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pseudomembran pada mukosa hidung dan faring.(Doenges, 2000 ; Hamzah, 1994).
Intervensi:
· Kaji kepatenan jalan nafas dan bebaskan jalan nafas.
· Awasi frekwensi, irama, kedalaman pernafasan ; perhatikan adanya pucat / sianosis.
· Kaji reflek menelan ; perhatikan pengaliran air liur, ketidakmampuan menelan, serak dan batuk.
· Auskultasi paru, perhatikan stridor, penurunan bunyi nafas.
· Berikan terapi oksigenasi sesuai indikasi dengan cara yang tepat.

2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi atau respon peradangan. ( Carpenito, 2001 ; Harsono & Endrayanto, 2007)
Intervensi:
· Kaji status lesi ( warna, bau, luas luka, eritema, vesikel, bula).
· Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
· Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topical pada lesi kulit.
· Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
· Kolaborasi pemberian kortikosteroid.

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan pajanan terhadap lingkungan.( Wilkinson,2007)
Intervensi :
· Pantau tanda atau gejala infeksi ( suhu tubuh, denyut jantung, penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit).
· Kaji factor yang meningkatkan serangan infeksi ( misalnya : usia lanjut, tanggap imun rendah dan mal nutrisi).
· Pantau hasil laboratorium ( leukosit, hitung granulosit absolute, protein serum, albumin dan hasil - hasil yang berbeda).
· Amati penampilan praktek hygine pribadi untuk pencegahan terhadap infeksi.
· Kolaborasi pemberian Antibiotik.



















DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. (2001). Buku saku diagnosa keperawatan. edisi 8 . EGC : Jakarta

Doenges, M.E. (2000). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3. EGC : Jakarta

Hamzah, M. (1994). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Harsono, A.,Endrayanto, A. (2007). Sindrome steven – Johnson, diakses pada 17 februari 2007. http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrome-steven–johnson/

Wilkinson, J.N. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan criteria hasil NOC. Edisi 7. EGC : Jakarta

Rabu, 07 Mei 2008